Upaya Penanganan Perdagangan Orang Melalui Aplikasi MedSos oleh Anak Dibawah Umur
OPINI : An-Nisya Kholiza P. P, Nadya Destika, Qoonia Riyandini
Teknologi, merupakan satu kata yang sangat berperan dalam perkembangan kehidupan manusia pada saat ini. Sebagian penduduk diseluruh dunia termasuk di Indonesia sudah menikmati kemajuan teknologi termasuk Media Sosial (Medsos). Berbicara mengenai teknologi tidak terpisahkan dari internet dan aplikasi yang merupakan hasil dari teknologi itu sendiri.
Teknologi dan perkembangannya yang cepat sangatlah membantu kehidupan manusia, bahkan dengan perkembangan teknologi yang ada, bisa menciptakan kesempatan untuk menghasilkan uang tanpa harus meninggalkan rumah sekalipun. Namun, tanpa kita sadari, teknologi yang ada saat ini dapat berubah menjadi sebuah ancaman tersendiri jika teknologi tersebut tidak dikelola dengan baik dan malah menguasai kita.
Internet dan aplikasi merupakan beberapa hasil dari kemajuan teknologi. Saat ini segala sesuatunya telah memanfaatkan fasilitas internet, salah satunya adalah dunia komunikasi. Tetapi, yang terjadi saat ini mayoritas dari kita menyalahgunakan pemanfaatan teknologi, begitupun yang terjadi pada anak-anak saat ini. Teknologi yang tersedia membuat mereka menjadi pribadi yang lebih mengutamakan diri sendiri, jauh dari kehidupan sosial secara langsung, bahkan ada yang sampai menjadikan teknologi atau lebih tepatnya media sosial itu sebagai pengganti keluarga, orangtua dan teman.
Kurangnya pengawasan dan tidak tidak adanya informasi yang jelas tentang baik buruknya teknologi aplikasi media sosial (medsos) menjadi faktor utama penyebab penyalahgunaan teknologi pada anak sehingga akan sangat bijak ketika teknologi yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya dan menjadi peluang bukan ancaman.
Aplikasi media sosial (medsos) yang menjadi perbincangan khalayak ramai saat ini adalah penggunaan aplikasi media sosial (medsos). Aplikasi ini merupakan aplikasi olah pesan instan gratis yang memungkinkan pengguna saling terhubung dengan keluarga, teman, dan lainnya. Aplikasi media sosial (medsos) biasanya merupakan aplikasi pengiriman pesan yang paling banyak diunduh di Google Play Store, yang tersedia baik di perangkat Android maupun iOS.
Aplikasi media sosial (medsos) bukan hanya sekedar berkirim pesan, tetapi juga memiliki sejumlah fitur yang mumpuni. Aplikasi ini juga memungkinkan pengguna untuk bertemu dengan teman baru, termasuk di lokasi sekitarnya. Namun belakangan ini, ternyata diketahui banyak masyarakat khususnya di Indonesia yang menyalahgunakan aplikasi media sosial (medsos) ini untuk tujuan prostitusi online yang sering disebut Open BO (Booking Online).
Prostitusi online melalui aplikasi media sosial (medsos) dianggap lebih praktis dan aman dibandingkan dengan prostitusi konvensional, karena dianggap lebih aman untuk prostitusi online karena pengguna dan Pekerja Seks Komersial (PSK) online dapat melakukan Cash on Delivery (COD) atau pembayaran di tempat serta lebih mudah diakses karena memiliki fitur kirim foto dan video.
Pada dasarnya beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum formal telah mengatur terkait prostitusi online seperti Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan tetapi tidak serta merta dapat mengurangi jumlah kasus prostitusi online di aplikasi media sosial (medsos) tersebut.
Data yang didapatkan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus prostitusi online dengan menggunakan aplikasi media sosial (medsos) / MC pada tahun 2021 lalu mendapatkan presentasi tertinggi di antara aplikasi-aplikasi lainnya dengan jumlah korban eksploitasi seksual anak dan pekerja anak sebanyak 41%.
Tingginya jumlah kasus prostitusi online di aplikasi media sosial (medsos) ini terjadi karena pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktik prostitusi online, meskipun telah ada KUHP, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan UU ITE. Di dalam Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506 KUHP yang mengatur terkait larangan untuk melakukan kegiatan prostitusi yang pada butirnya menjelaskan bahwa, Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan dijadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah, Pasal 296 KUHP dan Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, Pasal 297 KUHP serta Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencahariannya, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun, Pasal 506 KUHP.
Dalam ketentuan pasal tersebut hanya terdapat larangan bagi orang yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, maka dapat disimpulkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk mucikari, bukan khusus untuk pelaku prostitusi.
Ketentuan di dalam Undang-Undang ITE tidak mengatur secara khusus terkait dengan praktik tindak pidana prostitusi online, karena meskipun diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang ITE tetapi hanya menjelaskan terkait ancaman pidana bagi yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses terkait dengan informasi elektronik yang dapat melanggar kesusilaan.
Ketentuan terkait praktik prostitusi selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Pasal 1 ayat (1), ayat (7), ayat (8), yang berisikan terkait definisi perdagangan orang dan eksploitasi seksual, Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemidanaan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, [Pasal 1 Ayat (1)].
Selanjutnya pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immaterial, [Pasal 1 Ayat (7)].
Adapun pengertian eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan, [Pasal 1 ayat (8)].
Berkaitan dengan ancaman pidana bagi yang melanggar Pasal 1 ayat (1), (7), dan (8) UU No. 21 Tahun 2007 tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang TPPO, Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuak, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Tindak pidana perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Masyarakat secara umum terutama perempuan dan anak dibawah umur sangat rawan menjadi korban dan bahkan pelaku tindak pidana perdagangan orang apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai tentang masalah ini.
Langkah-langkah penanganan terhadap persoalan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan advokasi berkelanjutan dengan berbasis pemenuhan hak anak, yaitu melalui aspek pencegahan dengan memberikan edukasi dan pendidikan literasi digital kepada keluarga, masyarakat dan anak itu sendiri untuk menjalankan internet sehat, disamping itu perlu mengoptimalisasi penanganan korban melalui rehabilitasi sosial dan pemulihan anak dengan mengacu pada standarisasi pemulihan anak korban eksploitasi, serta melakukan advokasi dan pengawasan terhadap para penyedia platform online agar berkomitmen kuat untuk memproteksi anak di dunia siber; memperkuat aspek penegakkan hukum kasus TPPO melalui peningkatan kualitas penanganan dan sumber daya manusia.
Adapun Upaya Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pertama dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan, setiap orang atau masyarakat dalam hal mendapat pengetahuan dan sosialisasi tentang bahaya tindak pidana perdagangan orang tersebut, kedua perlu diupayakan adanya jaminan aksesbilitas bagi keluarga, khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial. Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal, tinggal bagaimana implementasinya secara nyata.
Pada dasarnya Upaya Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang membutuhkan sinergitas dari semua pihak, terutama dari Pemerintah, pihak swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui integralitas upaya penal dan non penal.
Upaya penal, dengan cara mempergunakan sarana hukum pidana secara konsisten tanpa pandang bulu, dengan memberdayakan aparat penegak hukum secara profesional untuk menjerat pelaku dan jaringan, sedangkan upaya non penal melalui tindakan preventif terhadap setiap orang yang berpotensi menjadi korban, maupun penanganan korban secara komprensif. (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung).