JAM-Pidum Setujui Hentikan Tuntutan Terhadap Empat Tersangka Pidum

0
Bagikan :

INISIATORNEWS, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melalui Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 4 (empat) permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Persetujuan permohonan tersebut, dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, S.H. M.H. (mewakili JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana), Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat T.P. Oharda.

Dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Dr Ketut Sumedana, Senin (12/09/2022), bahwa penghentian proses perkara tersebut berdasarkan permohonan restorative justice.

“Adapun 4 (empat) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu, Tersangka DEDE KRISNABIN MULYANA AFANDI dari Kejaksaan Negeri Karawang yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Tersangka RAFIK dari Kejaksaan Negeri Donggala yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Tersangka RIZAL M MATAATIALA dari Kejaksaan Negeri Toli-Toli yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 atau Kedua Pasal 310 Ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tersangka SUNARDI alias ADI dari Kejaksaan Negeri Toli-Toli yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian,” ujar Dr Ketut Sumedana.

Alasan pemberian penghentian penuntutan, lanjut Kapuspenkum, karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

“Selain itu, Tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana dan Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,” terangnya.

Dijelaskannya pula, bahwa proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” jelasnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *